05 November 2007

Menulis untuk Anak-Anak

Kenapa anda menulis? Pertanyaan ini perlu diajukan karena masing-masing pribadi memiliki jawaban sendiri. Jawaban itu pada akhirnya, disadari atau tidak, akan memengaruhi hasil tulisan pembuatnya. Misalnya, bila anda menulis demi kesenangan diri belaka, anda akan menghasilkan tulisan yang hanya akan menyenangkan anda tanpa memedulikan karya anda dibaca orang lain atau tidak. Sebaliknya, bila anda menulis untuk dibaca orang lain, bahkan publik yang luas, maka anda akan berusaha membuat karya yang bisa dinikmati oleh banyak orang.

Pertanyaan berikutnya adalah kenapa anda memilih untuk menulis cerita anak yang notabene adalah karya tulis yang akan dibaca oleh anak-anak? Lagi-lagi, akan ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini. Anda berhak menjawab sesuai dengan keinginan anda.

Apa pun jawaban anda atas pertanyaan di atas, ada satu hal yang perlu dicermati bahwa menulis cerita anak tidaklah sesepele yang banyak orang bayangkan. Orang sering beranggapan bahwa menulis untuk anak-anak adalah pilihan terakhir setelah sekian alternatif pilihan seperti menulis puisi, novel, drama, dan cerpen untuk orang dewasa. Padahal seperti halnya menulis dalam bentuk lain, cerita anak memiliki kekhasan yang menarik untuk dikulik.

Kenali Kelompok Pembaca Anda
Kita bisa membagi cerita anak dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah anak-anak yang sedang dalam proses belajar membaca. Ciri khas cerita anak dalam kelompok ini adalah ilustrasi lebih dominan ketimbang narasi/teks. Jika anda adalah seorang penulis cerita anak yang tidak memiliki kemampuan menggambar, maka diperlukan sebuah kerja sama dengan ilustrator. Komunikasi dan interaksi yang baik antara penulis dengan ilustrator akan menghasilkan karya yang luar biasa. Cerita yang anda buat tidak akan sekadar menempel pada ilustrasi, demikian pula sebaliknya. Anda akan bisa menemukan cerita anak seperti ini dalam bentuk buku bergambar setebal 24-32 halaman.

Kelompok kedua adalah pembaca yang sudah lebih lancar dalam membaca, namun mereka belum memiliki stamina yang cukup untuk membaca dalam waktu lama. Kelompok pembaca ini sudah akrab dengan teks sehingga jumlah tulisan lebih banyak daripada ilustrasi. Anda bisa menemukan cerita anak seperti ini berbentuk buku dengan ketebalan 50-60 halaman.

Kelompok ketiga adalah pembaca yang sudah sangat lancar membaca. Mereka sudah tidak terlalu memikirkan apakah buku itu berilustrasi atau tidak karena sudah bisa merekonstruksi tokoh maupun peristiwa di dalam cerita ke dalam otaknya. Bahkan mereka gemar membayangkan tokoh cerita menurut imajinasi mereka sendiri.

Beda Kelompok, Beda Gaya
Kelompok pertama, karena memiliki kemampuan membaca sangat terbatas, lebih banyak membutuhkan bantuan ilustrasi untuk mengetahui karakter, peristiwa, maupun latar. Kalimat yang digunakan biasanya sangat pendek. Kosa kata yang dipakai pun sangat sederhana. Agar lebih menarik, anda bisa menggunakan kalimat-kalimat berima sehingga akan terdengar melodius ketika dibaca. Plot dalam kelompok ini sebaiknya lurus. Konflik sangat mungkin dimunculkan meski hanya “tipis”.

Kelompok kedua sudah bisa memahami kalimat/kata tanpa harus banyak meminta penjelasan dari orangtua atau guru. Namun, kesederhanaan struktur kalimat masih perlu diperhatikan. Konflik dalam kelompok cerita ini bisa lebih terasa dibandingkan kelompok pertama karena anda punya ruang yang cukup untuk membangun cerita.

Pada kelompok ketiga, anda bisa menggunakan kalimat dan kosa kata yang lebih kompleks. Meski plot maju sangat dianjurkan dalam cerita anak, anda bisa bereksperimen pada kelompok ini dengan menambah sedikit flashback. Konflik juga bisa anda buat lebih rumit.

Strategi Umum
Setelah anda mengenali kelompok pembaca yang akan menjadi pembaca cerita anda. Sebaiknya perhatikan hal-hal yang membuat penulis cerita anak tidak berhasil membuat cerita anak yang bagus.
1. Mencari tema
Carilah tema baru yang unik. Jika anda ingin mengambil tema yang sudah sering dipakai orang, maka carilah sisi yang belum pernah diusik oleh penulis lain. Kemalasan penulis cerita anak mencari tema mengakibatkan cerita anak Indonesia hampir bisa dikatakan monoton.
2. Menghadirkan, bukan menceritakan
Ini mantra sakti yang wajib diingat. Anda harus menghadirkan kisah, bukan menceritakan. Jangan pernah anda menulis “dia cantik”, tapi hadirkan kecantikan tokoh tersebut ke dalam cerita. Tekniknya bisa dengan deskripsi detail atau menyelipkannya dalam dialog.
3. Membaca ulang
Jangan malas membaca ulang tulisan anda. Tentu saja menilai karya sendiri menjadi sangat sulit karena anda memiliki keterlibatan emosional. Cara yang paling mudah adalah dengan menyingkirkan karya anda sementara waktu dan membacanya kembali ketika emosi anda sudah surut dan bisa membaca dengan jernih.

Nah, tunggu apa lagi? Mulailah menulis!

Disampaikan dalam workshop penulisan cerita anak
di Yogyakarta, 3 November 2007