08 May 2007

Bertemu Ratna Indraswari

Akhir bulan Maret 2007, saya berkesempatan untuk mengunjungi kota Malang dan sepanjang sore diguyur gerimis. Itu sisi buruknya karena akibatnya saya tidak bisa leluasa menikmati kenyamanan kotanya. Sisi baiknya, bersama beberapa teman, saya punya kesempatan untuk menyambangi rumah salah seorang penulis perempuan yang produktif, Ratna Indraswari Ibrahim.

Membaca tulisan-tulisannya dan membaca review tentang dirinya adalah sesuatu yang berbeda dibandingkan bertemu langsung dengannya. Mbak Ratna, demikian para juniornya menyapa, seolah tidak ada jarak umur yang cukup jauh dengan dirinya. Mbak Ratna sangat ramah orangnya. Bahkan konon sudah menjadi semacam tradisi bagi para sastrawan yang berkunjung ke Malang untuk "sowan" ke rumahnya. Karenanya, berhasil bertemu dengannya--meski saya bukan seorang sastrawan--menjadi kebahagiaan tersendiri.

Sastrawan perempuan yang pernah memperoleh Anugerah Kesetiaan Berkarya dari Kompas pada tahun 2005 tersebut benar-benar memberikan semacam pencerahan kepada saya. Bayangkan, Mbak Ratna masih terus produktif menghasilkan karya yang dipublikasikan di berbagai media massa maupun dalam bentuk buku meski memiliki kekurangan pada tangan maupun kakinya.

Mbak Ratna menderita radang tulang (rachitis) sejak umur 10 tahun. Semenjak itu, kondisi tubuh Mbak Ratna semakin menurun. Sehari-hari Mbak Ratna duduk di kursi roda dan harus ada seorang yang mendorong kursinya jika hendak bepergian karena kedua tangannya tidak bisa digunakan untuk memutar roda kursi.

Bagaimana Mbak Ratna bisa menghasilkan begitu banyak karya dengan keadaan demikian? Mbak Ratna akan mengisahkan ceritanya dengan mulut, kemudian dituliskan oleh asistennya. Luar biasa! Sebab proses penulisan dengan cara seperti itu tidaklah mudah. Setidaknya, saya menduga ada dua kesulitan yang membayangi Mbak Ratna.

Kesulitan pertama adalah dari dirinya sendiri. Keadaan fisik yang berbeda dengan orang lain tentulah sangat mengganggu. Terlebih bila Mbak Ratna punya mobilitas tinggi, ketergantungan pada orang lain sangatlah tinggi. Bisa membangkitkan semangat terus-menerus untuk bisa menjalani aktivitas sehari-hari tentulah bukan hal yang mudah jika memang tidak memiliki keteguhan hati. Mbak Ratna terus menyalurkan minat bacanya yang tinggi sejak sebelum sakit meski harus dengan meletakkannya di pangkuan.

Kesulitan kedua adalah dari orang lain. Menulis adalah aktivitas yang sangat dipengaruhi oleh mood. Menciptakan mood pada diri sendiri kemudian menyesuaikannya pada orang lain tentulah membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Bayangkan bila anda sedang sangat ingin menulis tapi tidak ada orang lain yang bisa mengetikkannya untuk anda .... Belum lagi perbedaan yang sangat mungkin terjadi antara keinginan penulis dengan hasil yang diketik oleh asistennya.

Itu dua hal yang bisa saya kira-kira. Belum lagi hal lain yang saya tidak tahu dan tentu jumlah variasinya bermacam-macam dan bisa membuat kepala pusing. Namun, buktinya hingga sekarang Mbak Ratna masih menulis dan karyanya masih bisa kita baca dengan mudah. Itu tentu saja menandakan bahwa Mbak Ratna bisa mengatasi semua keterbatasan fisik yang dimilikinya.

Lebih mengharukan lagi karena Mbak Ratna tidak hanya berkutat pada dirinya sendiri. Dia mencoba menyumbangkan kemampuan yang dimilikinya kepada orang lain. Asistennya, yang tidak lulus SMP, bisa menulis sebuah buku berkat terbiasa mengetik kisah Mbak Ratna. Asistennya yang lain bahkan bisa bekerja di sebuah penerbitan padahal sebelumnya dia buta sama sekali tentang dunia tulis-menulis.

Kini Mbak Ratna memiliki sebuah toko buku kecil di samping rumahnya. Isinya bermacam-macam, mulai dari tinlit hingga sastra berat. Namun, lucunya, Mbak Ratna selalu membujuk calon pembelinya untuk membeli buku yang berkualitas dan menjauhi buku yang kurang bagus. Perbuatannya itu membuat jengkel anak asuhnya yang menjaga toko karena bagaimana tokonya bisa untung kalau pembeli dilarang membeli buku? Namun, begitulah Mbak Ratna. Beliau hanya terkekeh dan memberikan alasan, "Sebetulnya, toko itu untuk mengumpulkan anak-anak muda dengan berbagai kegiatan. Dari pembicaraan mereka, saya bisa tahu isu-isu terbaru mengenai sastra, ilmu pengetahuan, kesenian, dsb."

Mendengar komentar sambil lalu Mbak Ratna itu, saya menunduk malu. Kalau Mbak Ratna saja masih butuh belajar, kenapa saya tidak? Mbak Ratna sudah memberi saya oleh-oleh yang paling lezat dari kota Malang.