28 November 2006

Ruang Publikasi

Percaya atau tidak, setiap ruang publikasi tulisan di media massa memiliki karakter dan standar berbeda-beda. Redaktur surat kabar punya "selera" tulisan berbeda dengan redaktur surat kabar lainnya. Selera ini sangat menentukan karakter tulisan yang dipublikasikan di media tersebut. Karenanya, hampir bisa dipastikan artikel di koran A berbeda dengan koran B. Cerpen karya si A tidak bisa dimuat di media X karena redaktur cerpen media X tidak menyukai gaya tulisan si A.

Untuk sedikit membesarkan hati kita, belum tentu karya kita tidak bagus dengan menggunakan banyaknya jumlah surat penolakan sebagai tolok ukur. Bisa jadi pula, naskah kita hanya salah masuk lubang sehingga "dimuntahkan" lagi.

Oleh karena itu, sebagai seorang yang menahbiskan diri untuk berkarya dalam dunia tulis-menulis, mengetahui lubang yang tepat harus menjadi syarat yang mutlak. Kalau dalam bahasa marketing, kita harus tahu cara menjual naskah kita. Jangan sampai kita mengirimkan naskah novel tinlit ke penerbit yang dalam sejarah belum pernah dan tidak akan menerbitkan buku tinlit.

Ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk mempermudah jalan kita menjual naskah:
1. ketahui benar naskah yang dibutuhkan oleh media/penerbit
2. kenali spirit media/penerbit dengan membeli (setidaknya membaca) terbitan mereka
3. kalau ada kesempatan, ketahuilah visi terbitan dengan bertanya langsung kepada redaktur/editor
4. catat dengan benar alamat redaksi/penerbit untuk mengurangi risiko "salah kirim"

14 November 2006

Buat Mereka Terbahak: Pemakaian Humor dalam Cerita Anak

Tahun 1744 merupakan tahun yang bagus untuk cerita anak. John Newbery menciptakan A Little Pretty Pocket-Book, buku pertama yang ditulis khusus untuk anak-anak. Pada tahun yang sama pula, Mother Goose ditampilkan di panggung dengan puisi anak-anaknya yang sekarang sangat terkenal itu.

Namun, contoh-contoh penulisan cerita anak di atas lebih bersifat didaktis ketimbang menghibur. Mereka didasarkan pada asumsi orang dewasa bahwa masa kanak-kanak semestinya demikian, dan memang dimaksudkan semata untuk mengajari atau menanamkan ajaran moral. Alice's Adventures in Wonderland karya Lewis Carroll yang diterbitkan pada 1865, sering kali dipuji-puji sebagai contoh pertama dari ketakmungkinan dalam buku anak-anak (meskipun di dalamnya terkandung banyak sekali ajaran moral), dan humor-humor Mark Twain tentang sifat manusia menyebabkan buku-bukunya dilarang di sekolah selama bertahun-tahun. Untungnya, para editor, orangtua, dan guru mulai menyadari pentingnya humor di dalam cerita anak (terima kasih yang sangat besar kepada Dr. Seuss), dan buku anak-anak dalam 45 tahun terakhir telah mencerminkan perubahan ini. Masa kanak-kanak, pada masa sekarang, tampak sudah mandiri, bukan hanya sebagai lahan pelatihan bagi masa dewasa. Buku bisa membuat anak-anak bermimpi, berpikir, dan tertawa tanpa harus menceramahi mereka dalam setiap halamannya.

Para ahli pertumbuhan anak umumnya membagi humor dalam empat kategori: humor fisik, humor situasi, humor permainan bahasa, dan humor karakter. Pembagian ini menunjukkan bahwa dua kategori pertama kurang rumit ketimbang dua terakhir. Namun, keempat-empatnya bisa digunakan dalam buku anak dalam semua umur. Buku anak yang paling sukses adalah buku yang mampu membimbing pembaca mengikuti langkah demi langkah lelucon. Yang harus digarisbawahi adalah bahwa semakin subtil dan rumit sebuah lelucon, maka semakin tua pula target pembacanya.

Humor fisik bisa berupa apa pun dari slapstick untuk pembaca yang lebih muda (seekor itik kikuk atau anjing rabun), hingga tokoh yang dibuat keterlaluan untuk novel-novel umur menengah. Humor fisik digunakan dalam buku-buku bergambar dan pembaca awal ketimbang tingkat menengah ke atas dan novel remaja—anak yang lebih tua menyukai humor yang lebih cerdas.

Humor situasi bisa tampak jelas dalam Space Dog karya Natalie Standiford, buku untuk umur 7-10 tahun yang bercerita tentang seekor anjing luar angkasa yang pesawatnya terdampar di halaman belakang seorang anak lelaki. Buku ini lucu sebab situasinya sangat absurd. Dalam buku untuk anak yang lebih tua, humornya lebih nyata dalam kehidupan sehari-hari dan dekat dengan pengalaman mereka, semisal gadis empat belas tahun yang menabrak seorang anak lelaki ketika dia akan menonton bioskop bersama orangtuanya.

Humor yang melibatkan permainan bahasa bisa digunakan untuk setiap kelompok umur. Mulai dari kata-kata berima dalam puisi anak-anak (sering kali dengan kata-kata yang ganjil), hingga permainan kata-kata untuk umur 7-10 tahun, berkembang menjadi sindiran untuk remaja di mana lelucon sering kali melibatkan acuan pada acara populer di televisi, lagu, atau peristiwa yang muncul pada masa itu.

Humor tokoh mungkin merupakan bentuk yang paling sulit dibangun pengarang. Di dalam sebuah artikel yang ditulis untuk Horn Book pada 1982, pengarang Beverly Cleary menulis bahwa anak-anak “menikmati perasaan superior atas anak-anak yang lebih muda (ditunjukkan oleh tokoh-tokoh dalam buku) dan dibebaskan untuk tahu bahwa mereka telah tumbuh”. Tokoh lucu dalam buku bertindak selayaknya anak-anak yang tidak diperbolehkan melakukan sesuatu dalam kehidupan nyata. Hal utama yang berubah seiring umur pembaca buku adalah situasi yang tokoh temukan. Dalam Space Dog, si anjing dari luar angkasa makan pizza di tempat tidur dan menolak untuk bergabung dengan sesama anjing. Buku untuk anak yang lebih tua mungkin memiliki tokoh yang membantah guru atau orangtua.

Bagaimana kamu tahu dengan tepat bahwa anak akan menemukan kelucuan? Pengarang James Thurber mengatakan, “Tak banyak orang dewasa yang memiliki kemampuan untuk mengingat apa yang lucu bagi mereka sebagai anak-anak.” Jalan terbaiknya adalah dengan mengamati anak-anak berbincang di antara sesama mereka. Jika kamu tidak memiliki anak sendiri, luangkan waktu di taman atau tempat bermain, atau minta izin kepada seorang guru agar kamu bisa mengamati anak-anak di kelasnya selama satu atau dua hari. Tanyakan kepada pustakawan buku anak apa yang paling sering dipinjam dan bacalah. Jika sudah, buatlah humor dalam ceritamu lebih kompleks. Sebab, anak-anak mampu memahami perkembangan humor lebih cepat ketimbang yang orang dewasa kira, dan tak ada yang lebih hina bagi anak 12 tahun ketimbang mengotori tulisanmu dengan lelucon bodoh.

Diterjemahkan dari tulisan Laura Backes, penerbit, Children's Book Insider, the Newsletter for Children's Writers

19 October 2006

Panduan Dasar Menulis Esai

Sebuah esai bisa memiliki beberapa tujuan, tapi memiliki struktur dasar yang sama. Kamu bisa menulis esai untuk mempertahankan sudut pandang tertentu atau menerangkan langkah-langkah penting untuk melengkapi tugas. Dengan kata lain, esai kamu akan memiliki format dasar sama apa pun tujuannya. Jika kamu mengikuti beberapa langkah mudah ini, kamu akan menemukan bahwa esai itu hampir-hampir menulis sendiri. Kamu akan hanya bertanggung jawab pada menyediakan ide yang merupakan bagian penting dalam esai.

Langkah-langkah sederhana ini akan menuntunmu dalam proses penulisan esai:

1. Pilih Topik untuk Esai
a. Topik Ditentukan
Kamu tidak harus memilih topik. Jika begitu, kamu masih belum siap untuk menuju langkah selanjutnya.

Pikirkanlah tentang tipe tulisan yang akan dihasilkan. Apakah itu berupa tinjauan umum atau analisis spesifik atas suatu topik? Jika tinjauan umum, kamu bisa melangkah lebih lanjut. Jika harus berupa analisis, pastikan topik kamu sudah spesifik. Bila terlalu umum, kamu harus memilih subtopik yang lebih sempit untuk dibicarakan.

Sebagai contoh, topik "Kenya" terlalu umum. Kalau tulisan kamu hanya sebuah tinjauan umum, ini sudah mencukupi. Bila tugas kamu adalah menulis analisis spesifik, topik ini terlalu umum. Kamu harus mempersempit menjadi seperti "politik di Kenya" atau "Kebudayaan Kenya".

Setelah menemukan topik yang cocok, kamu bisa menuju ke langkah selanjutnya.

b. Topik Tidak Ditentukan
Jika topik tidak ditentukan, semua terserah padamu. Kadang-kadang tugas untuk memulai menjadi sangat menegangkan. Kenyataannya, ini berarti bahwa kamu bebas memilih topik yang menarik, yang sering kali akan membuat esai kamu lebih kuat.

Paparkan Tujuanmu
Satu hal yang pertama kali harus kamu lakukan adalah memikirkan tujuan esai yang akan kamu tulis. Untuk memengaruhi orang agar percaya seperti halnya kamu, untuk menerangkan kepada orang-orang cara menyelesaikan tugas tertentu, untuk mengajari orang tentang seseorang, tempat, sesuatu atau ide, atau lainnya? Apa pun topik yang kamu pilih harus sesuai dengan tujuan itu.

Beberkan Subjek yang Menarik
Sekali kamu sudah memutuskan tujuan esai kamu, tuliskan subjek-subjek yang menarik bagimu. Tak masalah apa tujuan esai kamu, topik dalam jumlah banyak akan pas.
Jika kamu memiliki kesulitan menemukan subjek, mulailah dengan melihat ke sekeliling. Apakah ada sesuatu yang menarik di sekelilingmu? Pikirkan tentang hidup kamu. Apa kesibukan terbesarmu? Barangkali itu bisa jadi topik menarik. Jangan evaluasi subjeknya; tuliskan saja semua yang terlintas di kepala.

Evaluasi Masing-Masing Topik yang Potensial
Jika kamu bisa memikirkan setidaknya sedikit topik yang bisa cocok, kamu harus mempertimbangkannya satu persatu. Pikirkan tentang perasaanmu atas topik itu. Jika kamu harus mendidik, pastikan itu subjek yang kamu ketahui benar. Jika harus memengaruhi, pastikan dengan subjek itu kamu bisa membuatnya menarik. Tentu saja, faktor yang paling penting dalam memilih topik adalah jumlah ide yang kamu miliki dari topik tersebut.

Bahkan jika tak ada subjek yang menurutmu akan menarik, usahakan pilih salah satu. Barangkali itu akan bisa menjadi topik yang menarik dibanding yang kamu kira.

Sebelum siap melanjutkan ke proses menulis esai, lihat sekali lagi topik yang telah kamu pilih. Pikirkan tipe tulisan yang akan kamu hasilkan. Apakah itu berupa tinjauan umum atau analisis spesifik? Jika berupa tinjauan umum, kamu sudah siap melangkah ke tahap berikutnya. Jika harus berupa analisis spesifik, pastikan topik kamu sudah cukup spesifik. Jika masih terlalu umum, kamu harus memilih subtopik yang lebih sempit untuk didiskusikan.

Setelah menemukan topik yang cocok, kamu bisa menuju ke langkah selanjutnya.

2. Kelola Ide Kamu
Tujuan dari outline atau diagram adalah untuk meletakkan ide-ide kamu tentang topik ke atas kertas dalam bentuk yang sudah lumayan tertata. Struktur yang kamu buat di sini mungkin masih berubah sebelum esai tsb lengkap sehingga jangan terlalu merasa menderita karenanya.

Putuskan kamu akan memilih struktur outline yang pendek-pendek atau yang lebih mengalir. Jika kamu memulai salah satunya dan ternyata tidak cocok denganmu, kamu bisa memulai dengan yang lain.

Diagram
  • Mulai diagram kamu dengan lingkaran atau garis horisontal atau bentuk apa pun yang kamu suka di tengah-tengah halaman.
  • Di dalam bentuk atau di atas garis, tuliskan topikmu.
  • Dari tengah-tengah bentuk atau garis kamu, gambar tiga atau empat garis keluar halaman. Pastikan benar-benar keluar dari tepi halaman.
  • Pada masing-masing akhir garis, gambar lingkaran atau garis horisontal atau apa pun yang sudah kamu gambar di tengah-tengah halaman.
  • Di dalam masing-masing bentuk atau garis, tulis ide pokok yang kamu punya tentang topik kamu, atau tujuan utama yang ingin kamu buat.
    - Jika kamu berusaha untuk memengaruhi, kamu ingin menuliskan argumen-argumen terbaik.
    - Jika kamu berusaha menjelaskan sebuah proses, kamu ingin menulis langkah-langkah yang harus diikuti. Kamu akan butuh mengelompokkan ini ke dalam kategori-kategori. Jika kamu memiliki masalah dalam mengelompokkan langkah-langkah ke dalam kategori, coba pergunakan Awal, Tengah, dam Akhir.
    - Jika kamu berusaha untuk memberi informasi, kamu ingin menuliskan kategori utama ke dalam informasi yang bisa dibagi-bagi.
  • Dari masing-masing ide pokok, gambar tiga atau empat garis keluar dari halaman.
    Pada bagian akhir dari masing-masing garis tsb, gambar lingkaran atau garis horisontal lain atau apa pun yang kamu gambar di bagian tengah halaman.
  • Di dalam masing-masing bentuk atau garis, tuliskan fakta atau informasi yang mendukung ide pokok.
  • Begitu selesai, kamu sudah mempunyai struktur dasar untuk esai kamu dan siap untuk dilanjutkan.

Outline

  • Mulailah outline kamu dengan menuliskan topik pada bagian atas halaman.
  • Selanjutnya, tuliskan angka Romawi I, II, dan III menurun di tepi halaman.
  • Pada masing-masing angka Romawi tuliskan ide-ide pokok yang kamu punya tentang topik kamu, atau poin utama yang ingin kamu buat.
    - Jika kamu berusaha untuk memengaruhi, kamu ingin menuliskan argumen-argumen terbaik.
    - Jika kamu berusaha menjelaskan sebuah proses, kamu ingin menulis langkah-langkah yang harus diikuti. Kamu akan butuh mengelompokkan ini ke dalam kategori-kategori. Jika kamu memiliki masalah dalam mengelompokkan langkah-langkah ke dalam kategori, coba pergunakan Awal, Tengah, dam Akhir.
    - Jika kamu berusaha untuk memberi informasi, kamu ingin menuliskan kategori utama ke dalam informasi yang bisa dibagi-bagi.
  • Di bawah masing-masing angka Romawi, tuliskan A, B, C menurun di samping halaman.
    Lalu di masing-masing huruf tsb tuliskan fakta atau informasi yang mendukung ide pokok

Setelah selesai, kamu sudah memiliki struktur dasar untuk esai kamu dan siap untuk melanjutkan.

(bersambung)


Diterjemahkan dengan gaya bebas dari Basic Guide to Essay Writing, Kathy Livingston (lklivingstone.mindspring.com)

17 October 2006

tentang folklor

Biasanya, folklor merupakan ekspresi orang-orang zaman dulu terkait pengamatan mereka atas alam, aturan sosial, dan manifestasi dari eskapis rasa takut, kebutuhan, dan hasrat mereka. Misalnya, folklor dipenuhi oleh gambaran tentang kanibalisme, pengorbanan manusia, siksaan, kekerasan pada anak, dan kekerasan. Dongeng dan cerita rakyat yang ada sekarang, seperti makanan anak-anak, merupakan adaptasi yang sudah dibersihkan dari isi yang tak pantas dan jarak kultural yang mungkin mengganggu sudah disaring.

Merupakan tugas penulis anak-anak yang menulis ulang dongeng untuk membuatnya nyaman bagi dan mudah diakses oleh target pembaca ketika mempertahankan keautentikan budaya. Demi tujuan tersebut, beberapa cerita lebih bagus ketimbang yang lain. Cerita binatang, cerita yang menampilkan tokoh protagonis pintar atau cerdik, dan cerita peri, merupakan tipikal menu yang lebih bisa diterima ketimbang, katakanlah, cerita rakyat tentang memakan orang mati atau inses ayah-anak.

Pada saat yang sama, beberapa cerita rakyat yang akan tampak ideal bagi anak-anak, bisa jadi tidak mendapatkan respons positif dari penerbit. Editor umumnya tidak tertarik pada kisah-kisah didaktis, tidak menoleransi cerita-cerita yang mengkhotbahi atau menguliahi. Namun, kebanyakan folklor pada intinya bermaksud memberikan pemahaman pada mekanisme dunia alamiah. Cara untuk menyeimbangkan perintah tradisi ini dengan kebutuhan pasar barangkali bisa dikelola, tapi ini merupakan wilayah dan tantangan utama bagi para penulis.


Dipenggal dari tulisan Eugie Foster, http://www.writing-world.com/children/multi2.shtml

12 October 2006

Mau Jadi Penulis? Baca Dulu, Dong!

Pernah mendengar tentang penulis yang jarang baca? Atau seorang penulis yang sengaja tidak membaca buku agar terbebas dari pengaruh orang lain? Saya pernah. Kenapa mereka berpikir atau tanpa sengaja menjadi seperti itu? Untuk menciptakan originalitas karya. Benarkah begitu? Mari kita telusur.

Sebetulnya, apa kegunaan membaca bagi seorang penulis? Kenapa penulis haru membaca sebanyak mungkin karya orang lain? Ada dua sebab. Pertama, entah kita seorang penulis avant garde atau penulis yang belum tahu berada di dalam posisi mana, kita harus sadar bahwa karya kita akan dibaca oleh orang-orang yang berpengalaman dalam membaca. Seorang pembaca, meskipun tidak mampu menulis dengan baik, dia pasti bisa mengetahui dengan pasti karya yang dia baca bagus atau tidak. Tentu saja, tidak berarti kita harus membaca semua karya sejak zaman melayu klasik hingga zaman sekarang, meski kita juga tidak bisa benar-benar membutakan diri dari informasi. Hanya saja, jangan sampai kita berpikir "ini original", tapi ternyata bagi pembaca "sudah basi".

Kedua, alasan kita membaca adalah untuk belajar dari penulis lain, terutama dari para penulis yang lebih mumpuni. Tidak ada salahnya kita mulai belajar menulis dengan meniru-niru gaya penulis idola kita. Lalu cobalah meniru gaya penulis idola kita yang lain. Selanjutnya coba gabungan beberapa di antara mereka dan seterusnya hingga akhirnya kita bisa menemukan gaya tulisan kita sendiri. Karya Original!

Selamat membaca ....

Disarikan dari salah satu bagian buku Writing a Novel, Nigel Watts, Contemporary Books US, 2003

26 September 2006

Tema yang Menarik

Apa saya bisa menulis?
Pertanyaan itu keluar dari mulut seorang teman kepada saya. Saya bilang, kenapa tidak? Tidak ada masalah dalam kemampuan menulis anda. Anda sudah bisa menyusun kalimat demi kalimat untuk membangun sebuah ide pokok atau tema. Hanya saja, anda kurang bisa mengambil tema yang menarik.

Perbincangan tsb didasari oleh keyakinan bahwa tema merupakan hal pokok yang wajib diperhatikan seseorang ketika hendak menulis. Meski konteks teman saya tsb adalah menulis sebuah naskah buku, kepedulian pada tema wajib dimiliki oleh penulis untuk kepentingan lainnya. Kenapa demikian? Sebab tema (yang biasanya termanifestasikan dalam judul) merupakan acuan pembaca sebelum memilih teks tsb untuk dibaca. Orang akan berpikir, buat apa membaca kalau temanya saja sudah tidak menarik?

Pertanyaannya kemudian adalah kenapa sebuah tema menjadi tidak menarik? Tema sebuah tulisan dianggap tidak menarik bisa karena:
- Tidak menawarkan sesuatu yang baru dalam bidang yang dibahas
Setiap bidang selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pengetahuan atas bidang yang hendak ditulis menjadi wajib untuk dimiliki si penulis. Jangan sampai, misalnya, si penulis menulis naskah tentang "cara mudah mengirim pesan melalui telegram" padahal orang zaman sekarang sudah menggunakan fasilitas SMS. Kecuali, penulis bisa mengambil subjek basi dengan cara pandang baru. Misal, "gaya menulis telegram dalam SMS".

- Tidak dibutuhkan oleh pembaca
Benar sekali bahwa penulis yang berpengetahuan luas memiliki pandangan yang luas pula. Dengan pengetahuannya, dia bisa memprediksi atau menggagas sebuah fenomena yang akan terjadi di kemudian hari. Namun, kata orang, pintar-pintarlah memahami lingkungan. Jangan sampai kita nggege mangsa (tidak pada tempatnya). Kegagalan sebuah naskah adalah ketika ia mengambil tema yang terlampau jauh dari zamannya. Bisa jadi, naskah tsb dibutuhkan pembaca, tapi pembaca masa depan. Karena rentangnya terlalu jauh, ya mohon maaf bila orang masa sekarang malas baca. So, silakan kirim naskah tsb ke masa depan melalui mesin waktu.

Nah, apakah tema tulisan saya ini sudah cukup menarik?

07 July 2006

Elemen-Elemen Dongeng

Kapankah sebuah cerita bisa disebut sebagai sebuah dongeng?Seperti halnya cerita rakyat, dongeng berasal dari tradisi oral dan biasanya mengambil setting "di masa lampau".

Ada beberapa elemen yang sering kali muncul sehingga bisa diidentifikasi sebagai genre dongeng:
- diawali dengan ungkapan "pada zaman dahulu kala" dan diakhiri dengan kalimat "mereka pun hidup bahagia selamanya"
- tokoh jahat
- tokoh baik
- ada istana atau keluarga kerajaan
- kejadian-kejadian ajaib
- masalah dan solusinya

Tapi seperti apa ya, contoh dari masing-masing elemen itu? Ada yang bisa bantu?

Media Anak-Anak Alternatif dan Budaya Baca-Tulis

Sudah menjadi rahasia umum bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah dibandingkan masyarakat negara lain. Hal ini ditengarai dengan relatif sepinya dunia perbukuan Indonesia. Meskipun sekarang dunia perbukuan mulai memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan, tapi masa depan industri buku masih menjadi dunia remang-remang yang penuh tanda tanya. Dan kegemaran membaca ini memiliki kaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Sebab semakin besar kegemaran membaca sebuah bangsa, maka semakin semakin maju pula peradabannya. Bahkan ada ungkapan you are what you read.

Budaya (baca: kebiasaan) membaca tersebut tentu saja tidak muncul begitu saja, melainkan harus ditanam sejak dini. Semakin muda kebiasaan membaca ini ditanamkan, maka semakin baik pula. Namun, persoalannya banyak sekali kendala yang harus dilalui untuk mencapai kondisi ideal tersebut. Mulai dari keluarga hingga negara menjadi penghambat utama dalam penanaman kebiasaan membaca.

Dengan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang masih tergolong rendah, maka bacaan anak menjadi barang yang sangat “mahal” bagi keluarga. Orangtua akan lebih memilih membeli beras ketimbang membelikan bacaan untuk anak. Logikanya tentu saja sangat sederhana: beras akan membuat keluarga bisa bertahan hidup, sedangkan bacaan tidak. Dan logika ini tentu saja meyakinkan dan masuk akal.

Negara sendiri sepertinya tidak memiliki sensibilitas dalam hal budaya membaca ini. Hal ini terbukti dengan rendahnya jatah yang diberikan sebagai dana pendidikan—di dalamnya juga termasuk pengadaan bacaan untuk anak-anak—dalam APBN. Program wajib belajar dan peningkatan sumber daya manusia ternyata lebih sebagai “jual kecap” kabinet belaka. Sistem pendidikan hanya dimaksudkan untuk menciptakan robot-robot pekerja—yang memiliki catatan akademik bagus, tapi kualitas mental, emosional, dan penalarannya patut dipertanyakan—dalam sistem pembangunan Indonesia.

Televisi dan Tradisi Oral
Televisi juga termasuk salah satu faktor yang dituding sebagai penghambat budaya membaca. Dan itu ada benarnya karena kenyataannya anak-anak lebih senang menonton televisi dibanding membaca buku. Hal tersebut terjadi selain karena tidak adanya motivasi yang diberikan oleh keluarga dan negara, seperti yang sudah dijelaskan di atas, juga akibat kentalnya budaya oral dalam masyarakat Indonesia.

Dalam perjalanan peradaban bangsa Indonesia, tradisi oral menjadi faktor yang dominan. Pun ketika huruf sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia, budaya oral tidak juga goyah. Sementara, budaya literal tidak juga mengalami perkembangan yang signifikan. Tradisi menulis hanya merupakan pencatatan atau pengubahan bentuk tradisi lisan belaka. Dalam hal ini masih ada keterkaitan erat antara tradisi lisan dan tulis. Naskah-naskah sastra berbentuk tulisan merupakan penulisan sastra lisan, dan dimaksudkan untuk dibacakan oleh pawang di depan khalayak (dioralkan).

Dalam lingkungan keraton (kerajaan) pun tradisi tulis ini tidak berkembang dengan baik. Penyebab utamanya adalah karena kultur mistis-feodal yang diciptakan oleh penguasa (raja). Menulis, pada saat itu menjadi kemampuan “supranatural” yang hanya [pantas] dimiliki oleh segelintir orang saja. Orang-orang di luar kalangan empu yang mandraguna itu tidak bisa dan tidak pantas melakukannya. Dalam perkembangannya lebih kemudian, tradisi tulis itu pun mengalami dekadensi karena hanya berisikan pujian-pujian terhadap penguasa (raja).

Kondisi tersebut semakin diperparah lagi saat zaman kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Tradisi tulis, bagi mereka merupakan tradisi yang kontraproduktif bagi sistem kolonial mereka—informasi yang datang dari negara-negara Barat berupa tulisan. Untuk mencegah masuknya informasi yang membangkitkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme, mereka sebisa mungkin berusaha menghambat perkembangannya. Pelajaran membaca diberikan kepada penduduk pribumi lebih karena dibutuhkannya tenaga-tenaga administratif dalam pangreh praja. Lagi-lagi kebiasaan membaca dan menulis hanya hidup dalam lingkungan yang sangat sempit, yaitu segelintir kalangan terdidik—hanya segelintir karena selain jumlah masyarakat terdidik pada masa kolonial sangat sedikit, dan dari sedikit orang itu sedikit pula yang memiliki kesadaran untuk memanfaatkan kemampuan membaca dan menulisnya dengan baik.

Lambannya perkembangan tradisi tulis dalam sejarah peradaban Indonesia selama berabad-abad itulah yang juga memengaruhi rendahnya minat baca masyarakat Indonesia sekarang. Dan itu kemudian juga memengaruhi kuatnya kegemaran menonton televisi yang notabene adalah kelanjutan dari tradisi oral masyarakat.

Media Anak: Koran, Majalah, Tabloid, dan Buku
Kebiasaan membaca pada anak sering kali tidak memiliki batasan yang jelas. Orang beranggapan bacaan apa pun bermanfaat bagi anak-anak. Dalam beberapa kasus pendapat ini ada benarnya. Namun, kualitas bacaan juga menjadi hal yang patut diperhatikan. Untuk membangun kualitas kognitif anak yang baik, diperlukan bacaan yang berkualitas pula. Oleh karena itu, bacaan di sekitar anak-anak harus dicermati baik-baik.

Banyaknya media yang ditujukan untuk anak-anak memang menjadi hal yang sangat bagus untuk perkembangan minat membaca anak-anak. Dengan mudah bisa kita temui majalah, tabloid, dan buku anak. Pertanyaannya adalah apakah media anak tersebut terjangkau oleh anak-anak? Buku anak, misalnya. Buku anak terhitung buku yang paling mahal dibanding buku untuk orang dewasa.

Juga majalah dan tabloid anak. Belum lagi kualitas majalah dan tabloid tersebut. Media tersebut dalam perkembangannya lebih banyak mengekspos gosip-gosip artis cilik atau artis yang digemari anak-anak. Sedikit yang berisikan cerita, dongeng, atau pengetahuan yang bermanfaat bagi perkembangan kognitif dan kreativitas anak.
Koran-koran pun sudah melirik anak-anak dengan memberikan halaman khusus untuk anak-anak. Namun, barangkali karena dianggap kurang marketable, maka ruang yang diberikan masih sedikit.

Media Alternatif
Kita memang boleh saja bersikap sinis terhadap minat baca masyarakat Indonesia pada umumnya, tapi tidak untuk minat baca anak-anak. Menurut hemat penulis, anak-anak memiliki semangat membaca yang sangat tinggi sebenarnya. Hanya saja, para orangtua cenderung mengabaikannya. Kalaupun mendukung, orangtua tidak memberikan arahan agar mereka memperoleh bacaan yang bagus kualitasnya.

Dengan kondisi yang demikian, maka diperlukan media anak-anak yang bisa memecah kebuntuan ini. Media alternatif ini tentu saja harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat pertama adalah media ini harus mudah diakses oleh anak-anak dari segala kalangan sosial. Artinya, anak-anak bisa memperolehnya tanpa harus merepotkan orangtua mereka yang sudah kalang kabut mengurusi dapur keluarga.

Syarat kedua adalah media tersebut harus bagus mutunya. Dengan kata lain media itu harus komunikatif dan tidak meninggalkan aspek edukatif. Sebab media yang sekadar menghibur akan rendah kualitasnya karena memiliki landasan filosofis yang dangkal. Oleh karena itu, media anak-anak haruslah media yang bisa mengasah aspek penalaran dan kreativitas anak-anak. Sehingga anak-anak akan terbiasa berpikir jernih, rasional, logis dan mampu mengungkapkan ide-idenya dengan lugas—bukankah banyak anak muda sekarang yang tidak bisa mengungkapkan isi pikirannya dengan runtut, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan?
Syarat ketiga, dan merupakan syarat yang paling penting, media alternatif tersebut harus digarap dengan serius dan berkelanjutan. Namun, pertanyaannya siapa yang mau berbesar hati mewujudkannya?

* pernah dipublikasikan di majalah Matabaca, 2005

12 June 2006

Erotisme dalam Cerita Anak

Pernahkah terlintas dalam benak kita kalo cerita (bacaan fiksi) anak mengandung erotisme? Erotisme ini muncul bisa dalam teks fiksi itu sendiri, atau ilustrasi (ilustrasi sebetulnya tergantung juga pada deskripsi tokoh2 dalam cerita). Misal, kita bisa lihat dalam cerita Putri Duyung yang aduhai, atau ciuman ala Sleeping Beauty, atau baju para peri yang mini.... So, sejauh mana sih, persoalan yang berhubungan seks dan seksualitas bisa ditolerir dalam fiksi anak?

28 March 2006

Penulis Kaya, Kaya Penulis

menulis dan uang. dua hal yang menurut saya sesuatu yg niscaya saling berhubungan. kalo boleh menarik garis lebih panjang dan lebar, ada semacam pola pikir dalam masyarakat kita tentang pekerjaan. term pekerjaan masih berkutat pada jadi tukang insinyur, pilot, dokter, pegawai kantoran, pns... kenapa menulis dan hal2 lain yg jarang kita bayangkan bisa menjadi pekerjaan? semisal desainer furnitur (seperti yg pernah saya lihat di metro).

lalu apa salahnya menjadikan menulis sebagai pekerjaan? apa salahnya seorang sopir angkot ingin hidup lebih baik dengan menulis? apa salahnya menjadikan royalti sebagai penghasilan yg halal? salahnya karena menganggap menulis sebagai pekerjaan mudah dan instan. bahwa menulis harus dilakukan dengan serius, betul sekali. sesuatu yg dikerjakan dengan tidak serius. bahkan membuat mis instan juga harus serius. artinya ada tahap2 yg harus dilalui dan dilewati dengan benar. mulai dari proses sebelum menulis, saat menulis, setelah menulis (pilihan penerbit), setelah buku terbit. bila ada salah satu di antaranya yg luput, barangkali ada kegagalan pada tahap sesudahnya. bertahun2 ditolak kompas, bila dikaitkan dengan hipotesis saya tsb, bisa terjadi karena ada yg luput saat sebelum menulis. sebelum menulis, penulis mestinya tahu betul naskah yg hendak disusunnya mau diarahkan ke mana dan akan di-"jual" ke mana. (bagi saya, ketika naskah ditawarkan ke media profit, maka sudah terjadi transaksi jual-beli, apa pun motivasi/ideologi di belakangnya.) kalo setiap nulis selalu ditolak kompas, kenapa harus ke kompas? toh masing2 media/penrbitan punya karakter tersendiri. carilah yg cocok dengan karakter tulisan yg telah dibuat. kalau masih ngotot mau dimasukkan ke kompas, maka buatlah naskah yg sesuai dengan karakter kompas.

mengenai pengalaman... ini lebih menarik. kalau ingin menulis tentang menjadi kaya, penulisnya harus kaya atau berhasil lebih dulu. betul sekali. kalau dia saja tidak bisa menjadi kaya, bagaimana bisa memberikan cara menjadi kaya? bagaimana kalau logikanya bukan seperti itu? kenapa seorang dukun malah mengajari orang lain tips agar cepat kaya? kenapa tidak dia pakai sendiri biar kaya dan tidak perlu menjadi dukun? jadi, menulis itulah cara untuk menjadi kaya. jadi, pembaca jangan melihat isi bukunya, melainkan bagaimana proses penulis bisa menjadi kaya karena menjadi penulis....maaf, ini sekadar selingan.

hal terpenting dalam pengalaman dan mengalami adalah masuk ke dalam kajian yg hendak digeluti. kalau ingin berhasil menulis tentang orang kaya, jadilah orang kaya atau bergaul dengan orang kaya; kalau ingin menulis tentang narkoba, bergaullah dengan pemakai atau bahkan ikut memakai agar tahu dan menjiwai saat menulis perasaan orang yg sedang sakaw. begitu? bisa ya, bisa tidak.

penelitian bisa dilakukan dengan terjun bebas, tapi bisa cukup mengawasi dari jarak yg tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh.

penulis muda yg karyanya masih belum sempurna, tapi diterbitkan? barangkali karena proses yg dia lakukan sudah tepat. tidak seperti saya yg selalu gagal menjadi penulis.... karenanya, jangan percaya dengan semua ocehan saya.

23 January 2006

penulis juga manusia

namanya penulis, beliau juga bisa khilaf, layaknya manusia-manusia lainnya. bisa aja dia lupa dengan karakter yang hendak dibangunnya.
namanya penulis, beliau juga kadang malas menambah pengetahuan untuk bahan tulisannya.
namanya penulis, beliau juga kadang malas berkarya dengan alasan writer's block.
namanya penulis, beliau juga kadang geram karena buku-bukunya tidak ada yang laris.
namanya penulis, beliau juga pinginnya nulis bagus, tapi yang keluar cuma omelan tidak ada juntrungan......seperti saya.
apa kamu juga manusia?