07 July 2006

Media Anak-Anak Alternatif dan Budaya Baca-Tulis

Sudah menjadi rahasia umum bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah dibandingkan masyarakat negara lain. Hal ini ditengarai dengan relatif sepinya dunia perbukuan Indonesia. Meskipun sekarang dunia perbukuan mulai memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan, tapi masa depan industri buku masih menjadi dunia remang-remang yang penuh tanda tanya. Dan kegemaran membaca ini memiliki kaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Sebab semakin besar kegemaran membaca sebuah bangsa, maka semakin semakin maju pula peradabannya. Bahkan ada ungkapan you are what you read.

Budaya (baca: kebiasaan) membaca tersebut tentu saja tidak muncul begitu saja, melainkan harus ditanam sejak dini. Semakin muda kebiasaan membaca ini ditanamkan, maka semakin baik pula. Namun, persoalannya banyak sekali kendala yang harus dilalui untuk mencapai kondisi ideal tersebut. Mulai dari keluarga hingga negara menjadi penghambat utama dalam penanaman kebiasaan membaca.

Dengan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang masih tergolong rendah, maka bacaan anak menjadi barang yang sangat “mahal” bagi keluarga. Orangtua akan lebih memilih membeli beras ketimbang membelikan bacaan untuk anak. Logikanya tentu saja sangat sederhana: beras akan membuat keluarga bisa bertahan hidup, sedangkan bacaan tidak. Dan logika ini tentu saja meyakinkan dan masuk akal.

Negara sendiri sepertinya tidak memiliki sensibilitas dalam hal budaya membaca ini. Hal ini terbukti dengan rendahnya jatah yang diberikan sebagai dana pendidikan—di dalamnya juga termasuk pengadaan bacaan untuk anak-anak—dalam APBN. Program wajib belajar dan peningkatan sumber daya manusia ternyata lebih sebagai “jual kecap” kabinet belaka. Sistem pendidikan hanya dimaksudkan untuk menciptakan robot-robot pekerja—yang memiliki catatan akademik bagus, tapi kualitas mental, emosional, dan penalarannya patut dipertanyakan—dalam sistem pembangunan Indonesia.

Televisi dan Tradisi Oral
Televisi juga termasuk salah satu faktor yang dituding sebagai penghambat budaya membaca. Dan itu ada benarnya karena kenyataannya anak-anak lebih senang menonton televisi dibanding membaca buku. Hal tersebut terjadi selain karena tidak adanya motivasi yang diberikan oleh keluarga dan negara, seperti yang sudah dijelaskan di atas, juga akibat kentalnya budaya oral dalam masyarakat Indonesia.

Dalam perjalanan peradaban bangsa Indonesia, tradisi oral menjadi faktor yang dominan. Pun ketika huruf sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia, budaya oral tidak juga goyah. Sementara, budaya literal tidak juga mengalami perkembangan yang signifikan. Tradisi menulis hanya merupakan pencatatan atau pengubahan bentuk tradisi lisan belaka. Dalam hal ini masih ada keterkaitan erat antara tradisi lisan dan tulis. Naskah-naskah sastra berbentuk tulisan merupakan penulisan sastra lisan, dan dimaksudkan untuk dibacakan oleh pawang di depan khalayak (dioralkan).

Dalam lingkungan keraton (kerajaan) pun tradisi tulis ini tidak berkembang dengan baik. Penyebab utamanya adalah karena kultur mistis-feodal yang diciptakan oleh penguasa (raja). Menulis, pada saat itu menjadi kemampuan “supranatural” yang hanya [pantas] dimiliki oleh segelintir orang saja. Orang-orang di luar kalangan empu yang mandraguna itu tidak bisa dan tidak pantas melakukannya. Dalam perkembangannya lebih kemudian, tradisi tulis itu pun mengalami dekadensi karena hanya berisikan pujian-pujian terhadap penguasa (raja).

Kondisi tersebut semakin diperparah lagi saat zaman kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Tradisi tulis, bagi mereka merupakan tradisi yang kontraproduktif bagi sistem kolonial mereka—informasi yang datang dari negara-negara Barat berupa tulisan. Untuk mencegah masuknya informasi yang membangkitkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme, mereka sebisa mungkin berusaha menghambat perkembangannya. Pelajaran membaca diberikan kepada penduduk pribumi lebih karena dibutuhkannya tenaga-tenaga administratif dalam pangreh praja. Lagi-lagi kebiasaan membaca dan menulis hanya hidup dalam lingkungan yang sangat sempit, yaitu segelintir kalangan terdidik—hanya segelintir karena selain jumlah masyarakat terdidik pada masa kolonial sangat sedikit, dan dari sedikit orang itu sedikit pula yang memiliki kesadaran untuk memanfaatkan kemampuan membaca dan menulisnya dengan baik.

Lambannya perkembangan tradisi tulis dalam sejarah peradaban Indonesia selama berabad-abad itulah yang juga memengaruhi rendahnya minat baca masyarakat Indonesia sekarang. Dan itu kemudian juga memengaruhi kuatnya kegemaran menonton televisi yang notabene adalah kelanjutan dari tradisi oral masyarakat.

Media Anak: Koran, Majalah, Tabloid, dan Buku
Kebiasaan membaca pada anak sering kali tidak memiliki batasan yang jelas. Orang beranggapan bacaan apa pun bermanfaat bagi anak-anak. Dalam beberapa kasus pendapat ini ada benarnya. Namun, kualitas bacaan juga menjadi hal yang patut diperhatikan. Untuk membangun kualitas kognitif anak yang baik, diperlukan bacaan yang berkualitas pula. Oleh karena itu, bacaan di sekitar anak-anak harus dicermati baik-baik.

Banyaknya media yang ditujukan untuk anak-anak memang menjadi hal yang sangat bagus untuk perkembangan minat membaca anak-anak. Dengan mudah bisa kita temui majalah, tabloid, dan buku anak. Pertanyaannya adalah apakah media anak tersebut terjangkau oleh anak-anak? Buku anak, misalnya. Buku anak terhitung buku yang paling mahal dibanding buku untuk orang dewasa.

Juga majalah dan tabloid anak. Belum lagi kualitas majalah dan tabloid tersebut. Media tersebut dalam perkembangannya lebih banyak mengekspos gosip-gosip artis cilik atau artis yang digemari anak-anak. Sedikit yang berisikan cerita, dongeng, atau pengetahuan yang bermanfaat bagi perkembangan kognitif dan kreativitas anak.
Koran-koran pun sudah melirik anak-anak dengan memberikan halaman khusus untuk anak-anak. Namun, barangkali karena dianggap kurang marketable, maka ruang yang diberikan masih sedikit.

Media Alternatif
Kita memang boleh saja bersikap sinis terhadap minat baca masyarakat Indonesia pada umumnya, tapi tidak untuk minat baca anak-anak. Menurut hemat penulis, anak-anak memiliki semangat membaca yang sangat tinggi sebenarnya. Hanya saja, para orangtua cenderung mengabaikannya. Kalaupun mendukung, orangtua tidak memberikan arahan agar mereka memperoleh bacaan yang bagus kualitasnya.

Dengan kondisi yang demikian, maka diperlukan media anak-anak yang bisa memecah kebuntuan ini. Media alternatif ini tentu saja harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat pertama adalah media ini harus mudah diakses oleh anak-anak dari segala kalangan sosial. Artinya, anak-anak bisa memperolehnya tanpa harus merepotkan orangtua mereka yang sudah kalang kabut mengurusi dapur keluarga.

Syarat kedua adalah media tersebut harus bagus mutunya. Dengan kata lain media itu harus komunikatif dan tidak meninggalkan aspek edukatif. Sebab media yang sekadar menghibur akan rendah kualitasnya karena memiliki landasan filosofis yang dangkal. Oleh karena itu, media anak-anak haruslah media yang bisa mengasah aspek penalaran dan kreativitas anak-anak. Sehingga anak-anak akan terbiasa berpikir jernih, rasional, logis dan mampu mengungkapkan ide-idenya dengan lugas—bukankah banyak anak muda sekarang yang tidak bisa mengungkapkan isi pikirannya dengan runtut, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan?
Syarat ketiga, dan merupakan syarat yang paling penting, media alternatif tersebut harus digarap dengan serius dan berkelanjutan. Namun, pertanyaannya siapa yang mau berbesar hati mewujudkannya?

* pernah dipublikasikan di majalah Matabaca, 2005

1 comment:

Anonymous said...

Saya blogger baru yg tertarik utk msharing ttg dunia baca-tulis...terutama pengalaman menumbuhkan minat baca.

Semoga kita bisa share info dan saling memperkaya ya.

Salam,
Erwin