16 February 2012

Penulis Cilik: Era Kegagalan Penulis Buku Anak?

Dalam artikelnya di The Guardian, Michael Rosen mengatakan bahwa dalam menulis cerita anak, kita membayangkan masa lalu kita saat kanak-kanak sekaligus berusaha mendekatkan diri pada anak-anak zaman sekarang. Masa lalu tersebut tidak melulu peristiwa, tapi juga bisa buku-buku yang pernah dibaca pada masa itu.Tarik ulur itulah yang akan menentukan karya penulis tersebut berhasil atau tidak.

Membayangkan masa kanak-kanak adalah hal yang mudah. Karena kita pernah atau sudah melewati masa kanak-kanak. Bagaimana dengan mendekatkan diri pada anak-anak zaman sekarang, yang notabene adalah calon pembaca karya kita? Ada banyak tekniknya, mulai dari mengunjungi toko buku, perpustakaan, hingga mengamati langsung ekspresi anak-anak ketika membaca karya kita.

Mari kita melirik sejenak ke fenomena bacaan anak di negeri kita. Sebuah penerbit telah merintis penerbitan buku anak yang ditulis oleh anak-anak kurang lebih sejak 2003. Kini, jumlah judul maupun penulis buku semacam ini sudah berlipat-lipat. Demikian pula penerbitnya. Serial tersebut bisa kita lihat juga mendominasi rak buku anak di toko buku.

Para penulis cilik ini telah membangkitkan sebuah semangat membaca baru, yaitu bacaan yang ditulis oleh kelompok umur mereka sendiri. Kita memang tidak perlu membahas mengenai kualitas atau teknik penulisan karena penulis cilik kita memang sedang berkembang sisi kuantitasnya, belum kualitas. Namun, mereka telah berhasil menyuguhkan bacaan yang memang pas bagi umur mereka, yang bisa jadi tidak mampu diberikan oleh penulis dewasa.

Dengan melihat fenomena semacam ini, terbetik dugaan bahwa para penulis bacaan anak dari kelompok umur dewasa telah gagal menyuguhkan bacaan yang pas bagi anak-anak. Dalam teori tarik-ulur ala Michael Rosen, penulis dewasa terlalu asyik dengan dirinya sendiri hingga lupa, apa sesungguhnya yang disukai oleh anak-anak.

@i_risd

08 February 2012

Terbit di Luar Negeri; Jualan atau Cuma Nggaya?

"Indonesia itu cuma secuwil dalam dunia perbukuan dunia," ujar seorang kawan. Oh ya? Apa indikasinya ya kira-kira? Budaya membaca yang sering dikeluhkan rendah oleh para intelektual dan pegiat buku? Atau jumlah pembeli buku yang jumlahnya semakin menurun seperti yang digembor-gemborkan oleh toko buku? Sepertinya lama-lama mereka akan memilih jadi toko stationary saja. Atau karena bank yang tidak mau beri pinjaman usaha untuk penerbitan buku?

Yang saya sebutkan tadi sih lokal banget. Bagaimana posisi para penulis Indonesia dalam kancah perbukuan dunia? Buku-buku buatan penulis Indonesia laku tidak kalau dijual di luar negeri? Kalau penulis/sastrawan wira-wiri ke luar negeri sih sudah sering ya. Mereka mewakili lembaga atau negara tertentu dalam suatu program kerja sama.

Dalam sebuah forum, seorang perwakilan dari penerbit mengabarkan kisah menarik. Penerbitnya sudah menjual buku-bukunya ke Malaysia, Turki, Jepang. Masing-masing tema buku punya kecocokan dengan negara tertentu. Misal, buku-buku tentang fashion kerudung diminati oleh negara-negara yang membolehkan warganya berbusana islami tapi tetap fashionable. Malaysia menggemari buku-buku Indonesia yang bernuansa Islam.

Bagaimana dengan fiksi? Tentulah kita teringat berita beberapa waktu lalu tentang seorang penulis Indonesia yang bukunya terbit di Amrik. Self publishing sih, tapi lumayanlah pede buat bersaing di dunia. Penulis gaek seperti Ahmad Tohari, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya terbit di Jepang, Jerman, Belanda, dan Inggris. Atau sastrawan pujaan banyak kalangan, Pramoedya Ananta Toer, yang tetralogi Buru-nya dialihbahasakan ke Inggris, Jerman. Atau penulis-penulis muda seperti Eka Kurniawan yang terbit di Jepang. Supernova karya Dee juga beredar hingga ke Amerika. A Fuadi dengan Negeri Lima Menara-nya terbit di Malaysia. Andrea Hirata yang Laskar Pelanginya terbit di China, Korea, Brazil, Malaysia, Amerika.

Loh, banyak ternyata ya? Belum terhitung karya-karya yang beredar sebagai buku nonprofit dan beredar terbatas, diedarkan ke perpustakaan-perpustakaan dan lembaga tertentu. Prestasi-prestasi para penulis Indonesia ini harus digembor-gemborkan. Kalau ada pegiat buku yang bilang, "Buku kami banyak juga yang sudah terbit di luar, hanya tidak terpublikasi." Lah, yang self publishing saja teriak-teriaknya kenceng begitu, kenapa yang terbit di penerbit bergengsi diam saja? :)

Sleman, 8 Februari 2012