17 March 2005

so what gitu loh!!!!

so what gitu loh.....
kita pengen nulis, tapi kebentur sama yang namanya ide. mentok tok!
kita pengen nulis, tapi kebentur yang namanya fasilitas.
kita pengen nulis, tapi gak punya waktu

so what gitu loh.......
kita udah bisa nulis, tapi hasilnya masih kerasa jelek juga.
kita udah bisa nulis, tapi belom juga ada yang mau muat.
kita udah bisa nulis, tapi gak ada duitnya.

so what gitu loh.....
kita jadinya brenti nulis, brenti berpikir, brenti bernapas.....
mati.

so what?
masih pengen nulis nggak sih?

14 March 2005

tentang motivator

Banyak penulis muda yang merasa butuh banget yang namanya support, motivator yang bisa bikin dia semangat buat nulis dan terus nulis. Caranya macem-macem. Ada yang dengan cari temen yang punya hobi sama, cari orang yang sudah berpengalaman dan mau berbagi ilmu dengan dia, ikutan forum diskusi atau mailist tentang tulis-menulis, atau baca buku-buku yang bisa memotivasi dia buat nulis.

Nah, ada satu cerita tentang teman saya yang pingin banget jadi penulis dan menggunakan cara terakhir buat memotivasi dirinya. Akhirnya, dia kesengsem sama buku-buku pemotivasi itu dan berniat menjalin komunikasi dengan penulisnya. Sms pun dikirim. Tapi ternyata, si penulis buku yang di dalam bukunya--menurut teman saya yang baca buku itu--sangat bisa memahami problem-problem yang dihadapi penulis pemula, di dunia nyata menjadi sangat tidak ramah kepada pembacanya.

Saya teringat pada kisah teman saya lainnya yang bertemu dengan Putu Wijaya. Dalam pertemuannya itu, dia memperoleh kesan positif dari sastrawan ternama itu. Bahkan untuk pertanyaan-pertanyaan yang paling naif sekalipun, Putu masih mau meladeni dengan sabar dan penuh atensi. Teman saya pun menjalin kontak dengan Putu melalui e-mail (Putu membagi-bagikan kartu namanya kepada anak-anak muda yang dengan antusias mengerumuninya). E-mail berbalas e-mail. Teman saya pun semakin bersemangat menulis karena keramahan Putu.

So, haruskah kita mencari motivator?

tentang kreativitas

Seorang penulis selalu punya cita-cita untuk membuat naskah yang sempurna. Problem krativitas muncul ketika kemauan penulis harus berbenturan dengan pihak kedua (publishing atau media). Sering kali, pihak kedua tersebut punya persepsi yang berbeda soal estetika yang ingin dicapai oleh penulis. Akibatnya, naskah diobrak-abrik tanpa ampun tanpa memperhatikan estetika yang pingin dicapai penulis. Hasilnya, naskah bisa lebih bagus, bisa juga berantakan. Bagi penulis ... bagaimana rasanya?

08 March 2005

what this life is for

temanku mengeluh soal hidupnya yang tidak juga berubah meski sudah membanting tulang sekian lama. temanku lain, merasa terlalu lelah menjalani pekerjaannya dan memutuskan untuk mengajukan pengunduran diri. temanku lain sedang bersemangat menjalani hidup dan pekerjaannya meski beberapa bagian hidupnya harus ditinggalkan jauh-jauh karena tidak mungkin teraih. aku di sini, menuliskan kisah mereka seperti waktu mencatat nasib....

07 March 2005

penulis dan kritik

Dalam sebuah acara diskusi yang diadakan oleh FLP (Forum Lingkar Pena) di Jogjakarta, salah satu pembicaranya yang kebetulan anggota FLP bercerita. Begini ceritanya: Ada kolega kerjanya di UNJ, berkomentar miring soal karya anggota FLP. Lalu, si pembicara itu berkomentar balik kepada rekan kerjanya itu, Memangnya anda sudah baca semua buku buatan anggota FLP yang jumlahnya lebih dari 400 judul itu?

Komedi situasi yang super ironis begitu tidak hanya terjadi pada penulis FLP, tapi juga pada hampir semua penulis. Bahkan tarik-menarik antara pembaca yang mengkritik dengan penulis sudah terjadi sejak tulisan mulai diciptakan oleh manusia, mungkin. Tapi ada satu hal yang harus dipetik dalam komedi ini. Haruskah seorang penulis bersikap defensif atas kritik yang dilontarkan kepada karya-karyanya? Lalu sikap seperti apa yang harus diambil? Abai kepada pembaca atau ....

05 March 2005

anak bodoh... atau orangtua bodoh?

Menulis buku untuk anak-anak ternyata gampang-gampang susah. Gampang karena gak perlu ngomong yang rumit-rumit atau sok nyastra or filosofis. Makanya banyak orang yang mencibir penulis cerita anak sebagai penulis tidak becus. Susahnya menulis cerita anak karena kita bukan anak-anak. Banyak filter yang sadar atau tidak membatasi diri kita dengan pembaca yang notabene adalah anak-anak itu.

Contoh paling gampang ya soal fungsi edukatif. Sebagai "bukan anak-anak", penulis merasa berkewajiban untuk menyensor segala macam yang berbau "tidak baik untuk anak". Tapi benar nggak sih, semua yang kita anggap baik itu baik juga bagi anak-anak? Cerita anak harus mendidik, harus punya nilai edukatif yang bermanfaat bagi tumbuh kembang anak.
Benarkah anak-anak tidak butuh cerita yang mengasyikkan, yang tidak melulu berpretensi mengajari seperti yang para orangtua inginkan?