27 April 2005

tentang (fiksi anak) indonesia

Kalo bicara kritik atas perkembangan fiksi anak di indonesia, saya katakan tidak ada yang salah dengan indonesia. Sungguhpun fiksi indonesia bisa dikatakan masih jalan di tempat atau kalaupun bergerak, maka itu hanya bisa dikatakan merayap pelan, tapi tidak ada yang salah dengan indonesia. Orang boleh saja mengatakan fiksi anak indonesia hanya melulu nasihat, tapi saya katakan tidak ada yang salah dengan indonesia.

Kenapa? Sebab tidak ada yang salah dengan indonesia. Kesalahan terletak pada para penulis maupun semua pihak yang terlibat dalam pembuatan buku fiksi anak. Merekalah yang paling bertanggung jawab atas keadaan sekarang ini. Kenapa mereka tidak menulis fiksi anak yang mencerdaskan? Kenapa mereka tidak menerbitkan fiksi anak yang mencerdaskan?

Lagi-lagi kita harus mengaca pada sisi dunia yang lain. Kenapa penulis dari luar negeri bisa menulis bagus. Kenapa fiksi anak mereka bisa warna-warni? Sebab mereka mau. Fiksi yang bersumber pada mitos klasik, modern, bahkan pascamodern tak jadi soal.

So, maukah kita?

13 April 2005

alasan menulis

seorang teman merasa bahwa menulis harus punya alasan. artinya, penulis harus tahu sasaran pembacanya dan sekuat tenaga berusaha mengomunikasikan idenya kepada pembaca tersebut.

ada teman lain yang menganggap menulis adalah aktivitas individu yang tidak terganggu oleh masalah alasan. kenapa harus menulis ini, kenapa harus menulis itu. kenapa nggak menulis ini, kenapa nggak menulis itu.

kalau aku sih lebih menyukai pertanyaan: kenapa menulis?

09 April 2005

kenapa cerita anak membosankan

cerita anak menjadi sangat membosankan ketika tidak ada hal baru yang ingin diciptakan. tidak melulu tema, tapi gaya penceritaan dan bahasa layak diperhatikan. orang menyangka, tema unik bisa bikin cerita menarik. tapi tema menarik jadi jelek karena gaya penceritaan yang tidak pas.

ada pameo yang mengatakan bahwa cerita anak yang bagus akan bisa dibaca tidak hanya oleh anak2 tapi juga oleh orang dewasa. jadi, apakah kalau orang dewasa membaca sebuah buku anak dan merasa bosan bisa diasumsikan bahwa anak2 pun akan merasakan hal yang sama?

07 April 2005

ruang imajiner

Saat menulis, seorang penulis berkeyakinan telah menciptakan sebuah ruang imajiner yang "konkret". Banyak orang yang membayangkan kekonkretan ruang itu sepadat ruang dalam dunia nyata. Tidak mengherankan bila sebagian orang merasakan keharusan untuk menjadi nyata dalam sebuah dunia yang jelas-jelas imajiner.

Untuk mempermudahnya, bentuk cerita rekaan dikelompokkan menjadi dua, yaitu fiksi realis dan fantasi. Pembagian ini memiliki kerancuan yang nyata karena fiksi realis diasumsikan menciptakan dunia yang selayaknya dunia nyata. Ruang imajiner yang diciptakan pengarang idem ditto dengan dunia real.

Pembagian kedua, adalah fiksi fantasi. Ini juga rancu karena sama saja mengandaikan ada cerita fiksi yang tidak fantasi atau imajiner.

Jadi, adakah batas fantasi dan real dalam dunia imajiner?